Jumat, 31 Mei 2019

Antigen dan Imunogen

  ANTIGEN DAN IMUNOGEN

    Antigen adalah suatu substansi atau potensi dari suatu zat yang mampu merangsang timbulnya respons imun yang dapat dideteksi, baik berupa respons imun seluler, maupun respons imun humoral atau respons imun kedua-duanya. Karena sifatnya itu, maka antigen disebut juga imunogen. Imunogen yang paling poten umumnya merupakan makromolekuler protein, polisakharida atau polimer sintetik yang lain seperti polivinilpirolidon (PVP). Imunogenisitas atau kemampuan dari imunogen untuk merangsang terbentuknya antibody bergantung dari antigennya sendiri, cara masuknya, individu yang menerima antigen tersebut, dan kepekaan dari metode yang digunakan untuk mendeteksi respons imunnya.

      Faktor-faktor yang mempengaruhi imunogenisitas dari suatu molekul atau substansi sangat kompleks dan tidak dapat dipahami secara gamblang, akan tetapi beberapa kondisi tertentu telah diketahui perannya dalam menimbulkan sifatnya imunogenisitas tersebut seperti :
1. Keasingan
         Sistem imun yang normal dapat membedakan antara diri (self) dan asing (non self), maka untuk menjadi imunogenik substansi tersebut harus bersifat asing. Misalnya, albumin yang dimurnikan dari serum kelinci kemudian disuntikkan kepada kelinci lain yang sama galurnya, maka tidak akan menimbulkan respons imun, akan tetapi apabila albumin tersebut disuntikkan kapada binatang lain atau kepada manusia, maka akan menimbulkan respons imun yang nyata. Ini menunjukan albumin kelinci dianggap asing oleh hewan yang lain.

2. Ukuran Molekul
        Molekul substansi harus berukuran cukup besar, walaupun belum diketahui secara pasti batas ukuran molekul yang menentukan imunogenitas. Molekul-molekul kecil seperti asam amino atau monoskharida umumnya kurang atau tidak imunogenik. Substansi yang mempunyai berat molekul kurang dari 10.000 bersifat imunogenik lemah bahkan sama sekali tidak imunogenik. Sedangkan substansi yang memiliki berat molekul lebih dari 100.000 (umumnya makromolekul), merupakan imunogen yang sangat poten.

3. Kerumitan Sistem Kimiawi
        Susunan molekul harus kompleks. Semakin kompleks susunan molekulnya maka semakin tinggi imunogenitas substansi bersangkutan. Azas ini dapat dilukiskan secara jelas pada percobaan-percobaan dengan menggunakan polipeptida buatan. Suatu molekul homopolimer yang terdiri atas unit-unit yang tersusun oleh satu jenis asam amino, walaupun merupakan molekul berukuran besar, tapi bersifat sebagai imunogen yang lemah. Misalnya; polialanin, polilisin dan yang lainnya. Sedangkan molekul kopolimer yang tersusun atas dua atau tiga jenis asam amino merupakan imunogen yang sangat potensial. Adanya gugus asam amino aromatik (tirosin) akan memberikan sifat lebih imunogenik dari pada gugus non-aromatik. Hal ini dapat dibuktikan dengan penambahan molekul tirosin pada gelatin, sehingga dapat meningkatkan imunogenisitasnya. Untuk menentukan batas yang jelas struktur molekul yang bagaimana yang imunogenik tidaklah mudah. Kita hanya dapat menyatakan bahwa makin rumit atau makin kompleks struktur molekulnya maka semakin imunogenik zat tersebut.

4. Konstutusi genetik
      Kemampuan untuk mengadakan respons imun terhadap antigen bergantung terhadap susunan genetic dari suatu individu. Telah diketahui bahwa polisakharida yang murni akan bersifat imunogenik apabila disuntikkan pada mencit atau manusia, namun imunogenitasnya akan hilang apabila disuntikkan pada marmot. Ketergantungan akan konstitusi genetik terlihat pada percobaan dengan menggunakan marmot yang berbeda galurnya, yaitu apabila galur dua disuntik dengan polylisin akan membangkitkan respons imun, akan tetapi jika disuntikkan pada galur tidak menimbulkan respons imun. Ternyata kemampuan untuk mengadakan respons imun pada marmot galur dua diatur oleh gen yang memiliki otosom dan diwariskan secara dominant.

5. Metode pemasukan antigen
       Cara masuk antigen kedalam tubuh, akan menentukan respons imun yang ditimbulkan. Ada kalanya sejumlah antigen yang dimasukkan secara intravena tidak menimbulkan respons imun, dibandingkan dengan antigen sama yang dimasukkan secara subkutan. Pada umumnya cara pemasukan antigen kedalam tubuh dapat langsung melalui kulit, melalui pernapasan, melalui saluran pencernaan, atau disuntikkan melalui subkutan, intraperitonial, intravenosa dan intramuskuler.

6. Dosis
        Besarnya dosis, juga dapat menentukan respons imun. Apabila dosis minimal suatu antigen telah dilampaui, maka makin tinggi dosisnya, respons imunnya akan meningkat secara sebanding. Akan tetapi pada dosis tertentu akan terjadi sebaliknya yaitu menurunnya respons imun atau bahkan dapat menghilangkan respons imun. Keadaan ini disebut dengan toleransi imunogenik. Walaupun imunogen umumnya merupakan makromolekul, tetapi hanya bagian-bagian tertentu saja dari molekulnya yang dapat berikatan dengan antigen binding site antibodi. Daerah tersebut disamping menentukan spesifisitas reaksi antigen- antibody juga sebagai penentu timbulnya respon imun. Daerah molekul itu disebut dengan determinan antigen atau epitop. Jumlah epitop dari sebuah molekul antigen tergantung pada ukuran dan kerumitan struktur molekulnya. Dengan menentukan jumlah spesifisitas antibody yang bersenyawa dengan setiap molekul antigen, orang dapat mengira-ngira jumlah epitop dari antigen yang bersangkutan. Dengan cara pendekatan ini, dapat diperkirakan bahwa albumin telur yang berat molekulnya 42.000 memiliki lima epitop pada setiap molekulnya, sedangkan thyroglobulin yang berat molekulnya 700.000, memiliki sekitar 40 buah epitop pada setiap molekulnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar